Dewan Pendidikan Buleleng Menyebut Lebih dari 400 Siswa Masih Kesulitan Membaca. Masalah ini Dipicu Dampak Pandemi, Kebijakan Naik Kelas Otomatis, dan Kemungkinan Disleksia.
Krisis Literasi di Buleleng: Ratusan Siswa SMP Belum Bisa Membaca
JAKARTA, BAMSOETNEWS.COM — Krisis literasi masih menghantui sistem pendidikan di Kabupaten Buleleng, Bali. Dewan Pendidikan setempat mencatat, lebih dari 400 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih mengalami kesulitan membaca dan mengeja. Bahkan, sebagian besar dari mereka belum bisa membaca sama sekali.
Ketua Dewan Pendidikan Buleleng, I Made Sedana, menyatakan bahwa permasalahan ini tersebar merata di hampir semua SMP di sembilan kecamatan yang ada di wilayah tersebut. Ia mengungkapkan, data yang dihimpun merupakan hasil kerja sama antara Dewan Pendidikan dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng.
“Jumlahnya bervariasi di tiap sekolah. Ada yang hanya beberapa siswa, tapi ada pula yang mencapai puluhan,” jelas Sedana saat ditemui di Singaraja, Kamis (3/4/2025).
Faktor Penyebab: Dampak Pandemi dan Kebijakan Naik Kelas Otomatis
Sedana menyoroti sejumlah faktor utama yang menjadi penyebab krisis literasi ini. Salah satu yang paling dominan adalah dampak pandemi Covid-19 yang sempat menurunkan kualitas pembelajaran, terutama di jenjang Sekolah Dasar (SD).
Kebijakan naik kelas otomatis yang diterapkan secara nasional turut memperparah situasi. Menurut regulasi saat ini, siswa tidak diperbolehkan tinggal kelas, meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca.
“Anak-anak tetap naik kelas meskipun belum bisa membaca. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan mereka saat masuk jenjang SMP,” tegas Sedana.
Kebutuhan Penanganan Serius dan Pembelajaran Berdiferensiasi
Dewan Pendidikan Buleleng menilai bahwa masalah ini adalah kondisi yang serius dan harus segera ditangani secara komprehensif. Penanganan bukan hanya dilakukan pada jenjang SMP, tetapi juga secara preventif di tingkat pendidikan dasar.
Sedana menyarankan perlunya penerapan pembelajaran berdiferensiasi oleh para guru agar anak-anak yang belum lancar membaca dapat menerima pendekatan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Disleksia Jadi Sorotan: Bukan Sekadar Malas Membaca
Lebih jauh, Dewan Pendidikan juga menduga bahwa salah satu faktor penyebab banyaknya anak yang belum bisa membaca adalah kondisi disleksia. Disleksia adalah gangguan belajar yang menyebabkan kesulitan dalam membaca, mengeja, hingga menulis dan berbicara, meskipun anak memiliki tingkat kecerdasan normal.
“Kami tidak bisa mengabaikan kemungkinan disleksia. Kami sudah melapor ke kepala daerah dan akan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait jika memang ditemukan faktor khusus seperti itu,” jelas Sedana, yang juga merupakan akademisi di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja.
Data Masih Bisa Bertambah, Madrasah Belum Terdata
Menariknya, data yang masuk saat ini baru mencakup sekolah-sekolah yang berada langsung di bawah naungan Dinas Pendidikan. Sedangkan sekolah madrasah, yang berada di bawah Kementerian Agama, belum termasuk dalam pendataan. Hal ini berarti jumlah siswa yang mengalami kesulitan membaca kemungkinan masih lebih besar dari yang tercatat.
Dewan Pendidikan Dorong Kolaborasi dan Revisi Regulasi
Sebagai solusi jangka panjang, Dewan Pendidikan Buleleng mendorong adanya evaluasi terhadap kebijakan pendidikan, termasuk kemungkinan peninjauan ulang aturan naik kelas otomatis. Selain itu, mereka membuka ruang kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat, ahli pendidikan, dan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah ini secara menyeluruh.
“Ini tanggung jawab kita bersama. Literasi adalah pondasi dari seluruh proses pembelajaran. Jika dasar ini tidak kokoh, akan sangat sulit bagi anak-anak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” pungkas Sedana. (BSN-01)