JAKARTA (29/3/2023), BAMSOETNEWS.COM — Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan seperti Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lainnya yang saat ini terancam sebagai negara gagal, yaitu Pakistan, Mesir, dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal.
“Karena itu, Indonesia perlu menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara. Kehadiran PPHN juga untuk menjamin kesinambungan pembangunan, khususnya pembangunan jangka panjang yang akan melampaui beberapa periode pemerintahan,” ujar Bamsoet dalam Diskusi Empat Pilar ‘PPHN Tanpa Amendemen’ di Media Center Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Dijelaskan, ada beberapa cara menghadirkan PPHN. Pertama dengan amendemen terbatas. Yaitu, perubahan terbatas UUD NRI Tahun 1945 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yang memasukkan substansi kewenangan MPR menyusun PPHN dan pengawasan pelaksanaan PPHN oleh DPR.
“Kedua, tanpa amendemen dengan cara mengubah UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Caranya dengan memasukan substansi mengenai kedudukan Tap MPR RI sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur yang dapat dibentuk oleh MPR RI dalam rangka pengaturan mengenai PPHN,” kata Bamsoet.
Juga dipaparkan, cara ketiga dengan mengubah UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perubahan dilakukan untuk memasukan substansi mengenai kewenangan MPR membentuk PPHN dengan produk hukum berupa Tap MPR.
“Keempat, PPHN ditetapkan dalam sebuah undang-undang yang mencabut UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,” papar Bamsoet.
Ditambahkan, cara kelima MPR menetapkan PPHN sebagai konvensi ketatanegaraan tanpa melalui perubahan produk hukum sebagaimana dalam berbagai poin sebelumnya. Artinya, PPHN bisa dihadirkan tanpa perlu khawatir bakal membuka kotak pandora, yang bisa memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, utamanya terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang selalu menyulut gaduh politik.
“Dari lima konsep di atas, konsep kedua dan kelima merupakan konsep terbaik. Karena judicial review dengan mengembalikan kewenangan MPR mengeluarkan Tap baru yang bersifat mengatur atau regeling dan konvensi ketatanegaraan, merupakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam praktik berhukum di Indonesia maupun di dunia internasional,” ungkap Bamsoet.
Ditegaskan, pengawasan pelaksanaan PPHN dapat dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945. Mekanismenya dapat dilakukan DPR berupa pengembalian RUU APBN untuk diperbaiki oleh pemerintah manakala tidak sesuai dengan PPHN.
“Misalnya, presiden yang menggantikan Presiden Joko Widodo dalam RUU APBN mendatang tidak memasukan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, maka DPR RI bisa mengembalikan RUU APBN tersebut. Karena tidak sesuai dengan PPHN yang di dalamnya turut mengatur tentang pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibukota Nusantara di Kalimantan Timur,” pungkas Bamsoet.
Hadir sebagai pembicara antara lain Wakil Ketua DPR 2014-2019 Fahri Hamzah, Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil, dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi Syarwai Chaniago. (PERS RILIS MPR RI)